Nilai sebuah pekerjaan

Ada seorang ayah. Ia adalah seorang pekerja keras yang mencukupi seluruh
kebutuhan hidup bagi istri dan ketiga anaknya. Ia menghabiskan malam sesudah
bekerja dengan menghadiri kursus-kursus, untuk mengembangkan dirinya dengan
harapan suatu hari nanti dia bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih
baik.

Kecuali hari Minggu, sang ayah sangat susah untuk bisa makan bersama-sama
keluarganya. Dia bekerja dan belajar sangat keras karena dia ingin menyediakan
bagi keluarganya apa saja yang bisa dibeli dengan uang.

Setiap kali keluarganya mengeluh kalau dia tidak punya cukup waktu dengan
mereka, dia selalu beralasan bahwa semuanya ini dilakukannya untuk mereka.
Tetapi seringkali juga, dia sangat berkeinginan untuk menghabiskan waktu bersama
keluarganya.

Suatu hari tibalah saatnya hasil ujian diumumkan. Dengan sangat gembira, sang
ayah ini lulus, dengan prestasi gemilang pula! Segera sesudah itu, dia
ditawarkan posisi yang baik sebagai Senior Supervisor dengan gaji yang menarik.

Seperti mimpi yang menjadi kenyataan, sekarang sang ayah mampu memberikan
keluarganya kehidupan yang lebih mewah, seperti pakaian yang indah-indah,
makanan-makanan enak dan juga liburan ke luar negeri.

Namun, keluarganya masih saja tidak bisa bertemu dengan sang ayah hampir dalam
seluruh minggu. Dia terus berkerja sangat keras, dengan harapan bisa
dipromosikan ke jabatan Manager. Nyatanya, untuk membuat dirinya calon yang
cocok untuk jabatan itu, dia mendaftarkan diri pada kursus lain di Universitas
Terbuka. Lagi, setiap saat keluarganya mengeluh kalau sang ayah tidak
menghabiskan cukup waktu untuk mereka, dia beralasan bahwa dia melakukan semua
ini demi mereka.

Tetapi, seringkali lagi dia sangat berkeinginan untuk menghabiskan lebih banyak
waktu lagi dengan keluarganya.

Kerja keras sang ayah berhasil dan dia dipromosikan. Dengan penuh sukacita, dia
memutuskan untuk memperkerjakan seorang pembantu untuk membebaskan istrinya dari
tugas-tugas rutinnya. Dia juga merasa kalau flat dengan tiga kamar sudah tidak
cukup besar lagi, akan sangat baik untuk keluarganya bila menikmati fasilitas
dan kenyamanan sebuah kondominium.

Setelah merasakan jerih payah kerja kerasnya selama ini, sang ayah memutuskan
untuk lebih jauh lagi belajar dan bekerja supaya bisa dipromosikan lagi.
Keluarganya masih tidak bisa sering bertemu dengan dia. Kenyataannya,
kadang-kadang sang ayah harus bekerja di hari Minggu untuk menemani
tamu-tamunya.

Lagi, setiap kali keluarganya mengeluh kalau dia tidak menghabiskan cukup waktu
dengan mereka, dia beralasan kalau semua ini dilakukan demi mereka. Tetapi,
seringkali lagi dia sangat berkeinginan untuk menghabiskan lebih banyak waktu
dengan keluarganya.

Seperti yang diharapkan, kerja keras sang Ayah berhasil lagi dan dia membeli
sebuah kondominium yang indah yang menghadap ke pantai.

Pada malam pertama di rumah baru mereka, sang ayah mengatakan kepada keluarganya
bahwa dia memutuskan untuk tidak mau mengambil kursus dan mengejar
promosi-promosi lagi. Sejak saat itu dia ingin memberikan lebih banyak waktu
lagi untuk keluarganya.

Namun, sang ayah tidak bangun-bangun lagi keesokan harinya .....

Pertanyaan untuk Refleksi: Apakah anda bekerja untuk hidup atau hidup untuk
bekerja?

Dosa orang sukses!

Saat ini kita saling berlomba untuk mengejar harta, pahala dan kuasa,kita dikejar oleh waktu, dateline dan target, sehingga semuanya harus serba cepat. Kalau engga percaya dengarlah bunyi klakson mobil di pagi hari maupun bunyi sirene mobil polisi yang ingin mengantar para pejabat. Dan lucunya bukan hanya para pejabat VIP saja yang butuh agar bisa jalan cepat, orang kawin sampai hal mengantar jenazah ke kuburan pun harus serba cepat !!! Kalau direnungkan siapa yang menunggu jenasah di kuburan, sedang bagi jenasah faktor waktu sudah tidak jadi masalah lagi.

Kita semuanya ingin serba cepat seakan-akan takut tidak mendapatkan bagian kesenangan duniawi, takut tidak dapat bagian menikmati hidup di dunia ini, tetapi apakah Anda tahu, semakin cepat Anda berlari semakin berkurang pula waktu yang bisa Anda menikmati, cobalah Anda jalan ke luar kota dengan kecepatan di atas 100 km, mana Anda akan bisa menikmati pemandangan disekitarnya ?!

Kita semuanya terseret oleh dampak kehidupan, karena kita harus lari cepat, sehingga akhirnya kita sendiri tidak dapat menikmati lagi hasil kesuksesan kita. Cobalah renungkan oleh Anda kapankah Anda bisa berbagi kasih dengan keluarga atau orang-orang yg Anda kasihi ? Kapankah Anda bisa menikmati berlibur dengan tenang dengan mereka atau bermain dengan putera/i Anda ?

Kita punya waktu untuk kegiatan yang kita lakukan sediri berjam-jam( exp : golf, tenis, dll), karena ini merupakan status simbol dari kesuksesan dan juga penting untuk menjalin relasi dengan mitrausaha kita, tetapi pernahkah tersirat dalam pikiran Anda, bahwa waktu tersebut sebenarnya kita ambil dari milik waktu orang yang kita kasihi, ialah istri, orang tua maupun anak-anak kita. Apakah main golf lebih penting daripada kumpul dengan keluarga? Kita lebih senang berkumpul di Pubs ataupun Dinner di hotel daripada makan malam bersama dengan keluarga di rumah.

Dunia ini penuh hingar bingar, sehingga kita tidak punya waktu lagi untuk mendengar jeritan hati dari orang-orang yang kita kasihi. Renungkanlah kapankah Anda punya waktu sejenak saja untuk mendengar keluhan dari orang yang Anda kasihi, kapankah Anda punya waktu untuk ngobrol sejenak dengan mereka? Tetapi kebalikannya begitu bunyi HP berdering, kita langsung tersentak seperti juga disengat oleh kalajengking, maka dari itu sudah menjadi kebiasaan bagi istri/anak di rumah apabila ingin berbicara dengan suami/ayah mereka,jalan yang paling mudah ialah melalui ponsel. Maklum kita sudah tidak punya waktu lagi untuk mendengar.

Pada jaman sekarang ini kegaduhan duniawi telah menghilangkan keheningan surgawi, bahkan kalau kita jujur sebagian dari kita sudah merasa takut akan keheningan, sebab ini bisa di nilai sama dengan kesepian. Renungkanlah apakah Anda pernah mendengar bisikan Allah?

Kita sekarang sudah begitu sibuknya mengejar kesuksesan sehingga kalau kita jujur dosa yg paling sering kita lakukan ialah tidak ada waktu untuk berdoa lagi, walaupun mungkin masih ada waktu sejenak untuk berdoa, tetapi kita tidak pernah bisa merasa santai dan memusatkan pikiran kita kepada Tuhan. Tanyalah kepada diri sendiri, apakah Anda bisa meluangkan waktu beberapa menit saja untuk berdoa di kantor, selainnya doa rutin pada waktu makan siang? Tuhan Yesus tidak pernah mengajarkan kepada murid-muridNya bagaimana bisa menjadi "pembicara" yang sukses ataupun menjadi salesman yang sukses, tetapi Ia mengajarkan bagaimana caranya berdoa.

Karena kesibukan kita sehari-hari sehingga tidak pernah ada waktu lagi untuk mengucap syukur ataupun berterima kasih kepada orang-orang di sekitar kita, entah
itu sobat-sobat kita, istri/suami, orang tua, kapankah kita terakhir kali memuji
mereka dan mengucapkan banyak terima kasih atas masakannya maupunpenampilannya ataupun jerih payahnya? Kapakah kita terakhir mengucapkan “Ilove you” kepada mereka? Kapankah kita mengucapkan rasa bangga kita terhadap putera/i kita ataupun rasa tertarik akan hasil jerih usahanya entah di sekolahan ataupun di luar sekolahan ? Jangankan terhadap mereka, terhadap Tuhan yang memberikan berkat saja sudah tidak punya waktu untuk mengucap syukur.

Albert Einstein pernah menulis: Cobalah untuk tidak menjadi orang yang sukes,
tetapi menjadi orang yg memiliki nilai.

Dengan uang kita dapat membeli seekor anjing yang bagus namum belum tentu dapat
membeli kibasan ekornya.

Cash flow Keluarga

Apa yang dimaksud dengan Cashflow keluarga ?

Cashflow keluarga adalah aliran uang yang "mengalir" mulai dari anggota keluarga mendapatkan uang tersebut, menyimpannya, mengembangkannya, dan mengeluarkannya dengan secara teratur, bijak dan disiplin.
Pengetahuan akan cashflow wajib diketahui agar keuangan keluarga kita terkendali dan terpantau. Ada sebuah ungkapan yang cukup menarik “tidak peduli keuangan Anda sedang defisit, yang penting Anda tahu kemana mengalirnya uang tersebut !!!”

Apakah anda ingin terbebas dari ikatan persoalan keuangan ?
Apakah anda terlilit hutang ?

Tuhan ingin hidup kita menguasai uang, bukan dikuasai uang !!!

Ada 3 prinsip dasar dalam cashflow keluarga :
1. Mengelola uang, bukan diatur uang
2. Prinsip menerima
3. Prinsip memberi

Mari kita belajar mengerti tentang cashflow keluarga sebagai berikut :

Mengelola
Tidak jarang pengelolaan dianggap tidak penting !!! terbukti dengan banyaknya keluarga yang tidak tau mengelola keuangan mereka.
Bagaimana cara mengelola keuangan yang baik dan benar ?
1. Buat skala prioritas yang benar
Utamakan kebutuhan, bukan keinginan !!!
2. Hindari HUTANG
3. Tepati janji

Menerima
Menerima adalah kegiatan yang bertujuan menerima uang/harta. Biasanya pendapatan dapat diperoleh dari dua aktivitas, yaitu hasil kerja dan investasi.
Hasil kerja diperoleh dari status kita sebagai karyawan / professional / Pengusaha
Dalam sebuah keluarga hasil kerja ini bisa diperoleh dari suami dan istri yang bekerja.
Hasil Investasi diperoleh dari aktivitas kita dalam mengembangkan uang/harta dalam berbagai cara. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan berinvestasi yaitu Deposito, Properti, Saham, Hasil Usaha, Reksadana, Obligasi, dll.
Seluruh pendapatan kita tersebut biasanya disimpan dalam bentuk tunai atau di rekening bank.

Pengeluaran
Pengeluaran berarti seluruh kegiatan yang mengurangi uang kita. Banyak sekali kebutuhan akan pengeluaran keluarga kita. Sehingga bila tidak diatur dengan baik akan membuat keuangan keluarga menjadi kacau dan bila sudah kronis dapat menuju ke jurang "kehancuran". Hasil survey menyatakan hampir sebagian besar masalah dalam keluarga adalah masalah uang !!! Ingat uang adalah tuan yang JAHAT tapi uang juga adalah hamba yang baik ! Secara umum sebuah keluarga memiliki beberapa pengeluaran seperti Pengeluaran Rumah Tangga, Cicilan Utang, Premi Asuransi, Pembantu Rumah Tangga, Keperluan Anak, Transportasi, Zakat/Pajak, Hiburan/Rekreasi, Kegiatan Sosial, Fashion, dan sebagainya.

Bila kita perhatikan selama ini, kesalahan yang sering dilakukan oleh kebanyakan keluarga adalah hanya berkutat pada pendapatan yang berasal dari gaji yang terus-menerus dikuras untuk menutupi pengeluarannya. Bahkan sering kali terjadi : BESAR PASAK DARI TIANGNYA !!! Sangat sedikit dari keluarga kita yang mulai melakukan aktivitas-aktivitas investasi sebagai sumber pendapatan keluarganya. Padahal bila kita rajin melakukan investasi, maka hasil dari investasi tersebut tidak jarang sudah dapat menutupi segala macam pengeluaran kita, bahkan bisa jauh lebih besar dari gaji yang kita terima selama ini.
Uraian di atas adalah sebuah kondisi ideal yang selayaknya dicapai oleh setiap keluarga. Bila keluarga Anda saat ini masih bergantung sepenuhnya pada aliran pemasukan dari gaji setiap bulan, maka sudah waktunya untuk sedikit demi sedikit menyisihkan uang Anda agar bisa membuat aliran pemasukan baru yang berasal dari Investasi.

Mari kita buat cashflow keluarga dengan baik sehingga kita dapat menjadi orang yang luar biasa !!! Tuhan memberkati

New Day

This is the beginning of a new day
God has given me this day to use as i will

I can waste it or use it for good
What i do today is very important
Because i am exchanging a day of my life for it

When tomorrow comes, this day will be
Gone forever, leaving something in its
Place i have traded for it

I want it to be gain, not loss......

Good, not evil .....

Success, not failure ......

In order that i shall not forget the
price i paid for it

Tuhan Tahu

Beberapa hal yang dapat mendorong kita untuk tetap bertahan !

Jika kau merasa lelah dan tak berdaya dari usaha yang sepertinya sia-sia.....
Tuhan tahu betapa keras engkau berusaha

Ketika kau sudah menangis sekian lama dan hatimu masih terassa pedih....
Tuhan sudah menghitung airmatamu.

Jika kau pikir bahwa hidupmu sedang menunggu sesuatu dan waktu serasa berlalu begitu saja.....
Tuhan sedang mengunggu bersama denganmu.

Ketika kau merasa sedirian dan teman-temanmu terlalu sibuk untuk menelepon...
Tuhan selalu berada di sampingmu.

Ketika kau pikir bahwa kau sudah mencoba segalanya dan tidak tahu hendak berbuat apa lagi...
Tuhan punya jawabannya.

Ketika segala sesuatu menjadi tidak masuk akal dan kau merasa tertekan....
Tuhan dapat menenangkanmu.

Jika tiba-tiba kau dapat melihat jejak-jejak harapan....
Tuhan sedang berbisik kepadamu.

Ketika segala sesuatu berjalan lancar dan kau merasa ingin mengucap syukur...
Tuhan telah memberkatimu.

Ketika sesuatu yang indah terjadi dan kau dipenuhi ketakjuban...
Tuhan telah tersenyum padamu.

Ketika kau memiliki tujuan untuk dipenuhi dan mimpi untuk digenapi...
Tuhan sudah membuka matamu dan memanggilmu dengan namamu.

Ingat bahwa di manapun kau atau ke manapun kau menghadap .... TUHAN TAHU

Fr : Imelda Rindorindo - Dwi Astuti - Ainis Naini - Junita - Joshua - Juanda - Frangky (Imperium Superblok - June 2007)

PENTINGNYA PEKERJAAN ANDA DI MATA TUHAN

"Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran." (Yoh. 1:14)


Sebelum kita melihat lebih jauh mengenai bagaimana memahami dunia kerja melalui sudut pandang alkitabiah, kita perlu mempertimbangkan bagaimana Tuhan memandang pekerjaan kita. Jika kita tidak tahu apa arti pekerjaan kita dan dampaknya bagi Tuhan dan kerajaan-Nya, kita berisiko memandang iman dalam bekerja sebagai sesuatu yang tak penting. Topik ini menghadirkan dua pertanyaan pokok dan kemudian kita akan melihat sekilas apa yang dikatakan Alkitab mengenai sikap yang Tuhan inginkan dalam kita bekerja.

Apa istimewanya pekerjaan saya?

Kita akan membahas beberapa prinsip berkenaan dengan pekerjaan secara mendalam dan praktis sambil kita berusaha mencari jawaban atas pertanyaan utama: "Pekerjaan siapakah ini sebenarnya?" Sangat mudah bagi kita untuk terjebak dalam rutinitas sehari-hari,keasyikan dalam mengerjakan tugas dan memenuhi tenggat waktu, pentingnya menanggapi tekanan, dan tuntutan kerja yang berubah-ubah, sehingga kita tidak lagi bepikir bahwa sebenarnya pekerjaan kita berarti untuk Tuhan. Orang Kristen dianjurkan untuk memulai harinya bersama Tuhan dan menegaskan kembali tujuan dan misinya dalam bekerja. Namun, kedisiplinan untuk melakukan anjuran itu sangat mudah sekali dilindas oleh semangat dan kesibukan dalam bekerja. Kedisiplinan itu memang penting, tapi itu saja tidak cukup untuk membuat kita sadar bahwa pekerjaan yang kita lakukan, demikian halnya dengan sikap kita saat bekerja, benar-benar berarti bagi Tuhan. Jika saya dapat memahami tujuan Tuhan dalam pekerjaan saya, sejauh manakah saya dapat memahaminya? Dengan segala aspeknya, pekerjaan dapat membuat kita sangat sibuk saat jam kerja (dan jam di luar jam kerja) sehingga kita melupakan rencana indah di balik posisi yang Tuhan berikan kepada kita sekarang ini. Malahan, banyak orang Kristen tidak menyadari bahwa ada rencana di balik semua hal yang kita lakukan.

Ada banyak orang (termasuk orang Kristen) yang akan membuat anda bosan selama berjam-jam saat mereka menceritakan segala rincian tentang apa yang istimewa dari pekerjaan mereka. Mereka bisa dengan kesungguhan menjawab pertanyaan, "Apa istimewanya pekerjaan saya?". Sisi negatifnya, jenis pembicaraan seperti ini menyingkapkan keistimewaan diri, kekuasaan, status profesional, permainan kekuasaan, dan sebagainya. Sedangkan sisi positifnya, semua orang perlu memiliki pemikiran bahwa pekerjaan mereka berarti dan berperan dalam kebutuhan mereka dan dalam masyarakat. Walaupun kenyataannya ada orang-orang yang tidak suka membicarakan pekerjaan mereka. Kita mencari jawaban untuk pertanyaan yang sedikit berbeda, yaitu "Apa istimewanya pekerjaan saya bagi Tuhan?" Untuk menjawabnya, kita perlu memahami kehendak Tuhan atas para murid-Nya. Sangat tidak mungkin jika Tuhan yang memanggil kita untuk mengikut-Nya, tidak memiliki tujuan saat menempatkan kita pada tempat di mana kita menghabiskan dua pertiga waktu kita dan setengah dari hidup kita. Menyangkali tujuan Tuhan berarti menganggap panggilan itu hanya setengah-setengah dan pemuridan itu adalah palsu. Untuk memahami arti pemuridan, kita perlu mempertimbangkan semangat dan sikap kita dalam bekerja. Doa John Oxenham sangat menantang: "Tuhan, ubahlah rutinitas pekerjaan menjadi perayaan kasih". Saya menyadari bahwa saya takkan pernah dapat melakukan hal itu sampai saya bisa menjawab pertanyaan utama kita. Jadi, saya harus menanyakan apa sebenarnya keistimewaan pekerjaan saya bagi Tuhan? Sikap seperti apa yang Tuhan ingin saya lakukan dalam bekerja? Empat sikap ilahi berikut akan menuntun kita kepada jawabannya.

Menjadi saksi
Kita bisa menerapkan Amanat Agung Yesus hanya jika kita bersedia menerima dan menaati perintah-Nya. "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Mat. 28:18-20). Karena ayat ini tidak menjelaskan secara gamblang mengenai pekerjaan sekular, sulit untuk melihat bagaimana murid yang potensial bisa dijangkau atau diajar tanpa perlu melibatkan diri dengan mereka dalam situasi kerja. Yesus tidak hanya bekerja sebagai tukang kayu, Ia juga mengunjungi orang-orang di tempat kerja mereka (di perahu, kantor pemungut pajak, dsb.) dan menantang serta mengajar mereka menerapkan iman mereka dalam situasi kerja.

Amanat Agung meliputi perintah untuk mengajar semua bangsa "segala sesuatu" yang diperintahkan Yesus -- dan Ia mengajarkan banyak hal tentang sikap dalam bekerja! Sikap Yesus terhadap pekerjaan kita adalah kunci mengapa pekerjaan kita penting dan yang akan menghancurkan pemikiran kita bahwa iman dan pekerjaan itu harus dipisahkan. Mungkin tempat kerja kita adalah satu-satunya tempat di mana rekan kerja kita bisa mengenal kekristenan. Tapi apakah itu berarti kita harus memprioritaskan penginjilan di tempat kerja kita? Jika memang demikian, pekerjaan yang kita lakukan sekarang akan menjadi pekerjaan sambilan yang tidak terlalu penting. Mungkin kemudian kita menganggap pekerjaan kita "hanyalah sebuah pekerjaan" dan sebuah sarana untuk mencapai tujuan akhir. Dengan sikap seperti itu, kita tidak akan memuliakan Tuhan melalui performa dan sikap kita dalam bekerja. Pekerjaan kita kemudian akan tidak sesuai dengan beberapa aturan standar yang ada di Alkitab. Efesus, misalnya, mendorong murid untuk "... dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia. Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan" (Ef. 6:7-8). Ayat tersebut jelas-jelas menyatakan bahwa Tuhan mengharapkan sebuah pekerjaan yang dikerjakan dengan sangat baik karena dari situlah kesaksian yang efektif akan muncul. Kombinasi pekerjaan yang seperti itulah yang Ia inginkan. Kekristenan akan bekerja saat kita menjadi teladan yang hidup.

Dibentuk oleh Tuhan
Saya memerlukan beberapa waktu untuk bisa melihat bagaimana Tuhan telah memakai pengalaman kerja saya yang beragam -- yang baik dan yang buruk -- guna membentuk saya untuk kepentingan pelayanannya. Terkadang sulit untuk kita pahami bagaimana Tuhan membentuk hidup kita ketika atasan kita selalu dipuji atau selalu dapat menghadapi konflik dalam semua hubungan kerjanya, atau ketika rekan kerja kita bersikap sinis terhadap agama kita. Pengalaman seperti itu nampaknya bukanlah suatu pembentukan yang positif. Namun, bagi kebanyakan orang, tempat di mana kita bekerja dan menghabiskan sebagian besar hidup, berperan penting bagi perkembangan iman kita kepada Tuhan. Dan setiap kita telah dibentuk dengan cara yang berbeda. Terkadang, semakin buruk situasi kerja kita, semakin teguh kita memegang iman kita. Tuhan tidak selalu mengubahkan pekerjaan, tapi Ia mengubah pekerja-Nya. Paulus mengaitkan proses ilahi itu dalam frasa "kita adalah ciptaan Tuhan" (Ef.2:10) -- secara harafiah, ini berarti kita adalah hasil karya-Nya yang hidup, dengan segala keterampilan dan keunikan yang terpancar darinya. Melalui proses "berjalan dalam Roh" (Gal. 5:25), kita telah menjadi seperti itu.

Sayangnya, tidak semua orang Kristen teguh ketika melalui ujian itu. Saya mengenal begitu banyak profesional Kristen muda yang dibentuk oleh ambisi, uang, dan kekuasaan daripada oleh iman. Hubungan mereka dengan Tuhan adalah hubungan yang salah. Sebaliknya, lihatlah bagimana kemampuan Yusuf dalam memimpin Mesir diasah oleh pengalamannya dibuang dan diperbudak. Proses hidup yang menyakitkan itu membawanya ke dalam istana dan posisi istimewa dalam kepemimpinan. Daniel juga berubah dari seorang tawanan menjadi seorang pemimpin yang memimpin sepertiga kerajaan Babilonia. Dari awal, perannya sebagai saksi dalam pekerjaan sangat luar biasa. Dalam hal performa kerja, dia dan teman-temannya lebih baik sepuluh kali lipat daripada mereka yang tidak mengenal Tuhan (Dan. 1:20). Kebanyakan dari kita sudah merasa senang bila kita lebih baik dua kali lipat daripada orang lain. Jika kita mengizinkan Tuhan membentuk kita sesuai keinginan-Nya, Ia akan memiliki pelayan-pelayan handal di tempat kita bekerja. Terkadang ada kehampaan dalam kita bekerja -- kehampaan yang muncul akibat penolakan kita terhadap tujuan-Nya.

Prinsip bagaimana kita memandang pekerjaan dalam konteks hubungan yang benar dengan Tuhan mencakup banyak bidang pekerjaan. Kita semua perlu mengetahui jawaban pertanyaan "pekerjaan siapakah ini sebenarnya?" Dalam kitab Kolose, misalnya, dikatakan untuk budak (kelas masyarakat yang paling rendah): "taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. (Kol. 3:22-24)" Kita jarang membayangkan pekerjaan kasar, rendah, dan buruk yang dilakukan oleh budak-budak pada masa itu. Namun, Tuhan sendiri menghargai pekerjaan itu karena pekerjaan itu dilakukan untuk-Nya. Sebaliknya, anggota masyarakat yang paling berkuasa yang telah menjadi Kristen diminta untuk bersikap lain dari pada yang biasa mereka lakukan di masa lalu. Di dunia di mana budak tidak memiliki suatu hak apapun juga, Tuhan memerintah para penguasa: "berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di sorga" (Kol. 4:1). Sungguh suatu cerminan dampak Roh Kudus dalam hidup mereka! Kristus memperkenalkan dua kelas masyarakat itu kepada dimensi pekerjaan mereka yang lebih tinggi, kepada apa yang menjadi kewajiban mereka dalam bekerja. Yesus Kristus mengingatkan mereka bahwa Ialah penguasa lingkungan kerja mereka. Mungkin mengejutkan bahwa asumsi dari ayat itu adalah Tuhan mendominasi pekerjaan kita. Mungkin kita bisa membatasi-Nya, tapi itu jelas bukan rencana-Nya. Kita harus masuk dalam rencana-Nya!

Menyaksikan kasih Tuhan dalam tindakan
Menyaksikan kasih Tuhan memang berkaitan dengan peran khusus kita sebagai saksi, lebih spesifik dengan sikap kita dalam pekerjaan. Kini kita berada dalam bagian yang sulit. Perilaku kerja orang Kristen banyak yang tidak menunjukkan keilahian Tuhan. Beberapa orang Kristen cenderung dikarakterisasi oleh kekakuan, kearoganan, kepicikan, dan mulut besar mereka daripada keilahian Tuhan. Kelemahan gereja yang paling besar adalah kehidupan jemaatnya yang tidak mencerminkan Kristus. C.H. Spurgeon pernah menyatakan, "Jika pengetahuan teologi Anda tidak bisa mengubah Anda, maka nasib Anda juga tidak bisa berubah." Ketika ditanya tentang perintah Allah yang terbesar, Yesus menjawab, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu." ... Dan yang kedua adalah: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:37,39). Hal tersebut adalah sebuah mandat yang menantang -- mengasihi Tuhan, sesama, dan diri kita sendiri. Makna praktis mandat tersebut sangat luas. Mengasihi Tuhan memerlukan ketaatan. Seberapa sering kita merenungkan pekerjaan dan sikap kita dalam bekerja? Seberapa sering kita bertanya apakah dan di mana kasih Tuhan nyata dalam sikap kita? Haruskah kasih kita kepada Tuhan tampak dalam cara kita memperlakukan orang, cara kerja, kinerja, motivasi kita, dsb.? Misalnya, bagaimana kasih itu bisa tampak ketika melayani pelanggan yang merepotkan di toko? Bagaimana kasih itu bisa nampak dalam hubungan seorang manajer dengan pegawai yang kaku? Dalam kehidupan seorang perawat yang kelelahan merawat pasien yang tidak tahu terima kasih? Kita mungkin tergoda untuk menanyakan, "Apa hubungan kasih dengan pekerjaanku?" Jawaban Alkitabiah untuk pertanyaan itu adalah -- segalanya.

Namun ada sebuah misteri dan kenyataan dalam hal ini. Tuhan bisa saja dengan mudah mengkloning kita saat Ia memanggil kita. Namun ternyata Ia memanggil kita dengan segala kesalahan kita. Dan melalui kuasa Roh Kudus, Tuhan mampu mengubah kita sehingga kita bisa mengekspresikan kasih-Nya dalam tindakan dan pekerjaan kita. Seperti itulah seharusnya seorang tukang kayu, bankir, sopir truk, dokter, tukang ledeng, atau guru dalam mengerjakan pekerjaan Tuhan. Sebagian dari kasih ini dinyatakan melalui hubungan di tempat kerja. Selain itu, kasih juga harus terlihat nyata melalui bentuk pelayanan kita yang lain seperti membantu sesama dan peduli kepada keluarga dan mereka yang membutuhkan. Meskipun William Tyndale mengatakan beberapa abad yang lalu, namun perkataannya itu sepenuhnya alkitabiah dan tidak ketinggalan zaman dalam penerapannya. "Tidak ada pekerjaan yang lebih baik dalam menyukakan Tuhan; menuangkan air, mencuci piring, menjadi tukang sepatu, atau rasul, semuanya sama; mencuci piring dan berkhotbah adalah sama, semuanya untuk menyenangkan Tuhan."

Untuk memuliakan Tuhan
Dalam hal yang penting ini, kita menghadapi tantangan besar. Dalam pekerjaan, kita dituntut untuk memimpin orang-orang yang berinteraksi dengan kita untuk bersyukur dan memuliakan-Nya. Mungkin Anda bertanya, untuk apa? Untuk mereka melihat Kristus dalam diri kita; untuk mereka melihat perbedaan yang disebabkan oleh Roh dalam hidup kita, untuk mereka melihat perbuatan kita yang menyatakan kasih Kristus; untuk mereka melihat penyataan iman kita; untuk mereka melihat integritas kita, untuk mereka melihat kepedulian kita terhadap orang lain, dsb.. Kalimat "supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya" (Ef. 1:12) menyiratkan hal itu, bahkan lebih. Sangat mudah untuk menyerah dan mengatakan bahwa panggilan ini adalah mustahil karena beberapa alasan. "Saya bekerja dengan orang-orang yang tidak mengenal atau memuji Tuhan"; "tidak ada seorang pun di sini yang berpikiran seperti itu -- jika saya seorang yang baik, mereka tidak akan tahu kepada siapa mereka harus berterima kasih (itupun jika mereka terpikir untuk berterima kasih)"; "orang-orang memerhatikan perbedaan, namun hanya dalam hal yang umum -- baik atau buruk, ramah atau kasar, dll. -- mengapa mereka perlu sebuah alasan?"; "situasi kerja di sini sangat tidak menyenangkan, Tuhan tidak mungkin akan dimuliakan di sini". Semua tanggapan ini mengarah kepada satu jawaban yang masuk akal. Saya harus hidup sebagai pengikut Kristus dan berbicara tentang-Nya. Bagaimana lagi orang Kristen harus bersikap? Orang Kristen terpanggil untuk menjadi lebih dari sekadar "orang yang baik". Hal itu menghadirkan masalah untuk beberapa orang Kristen. Mereka berpendapat, lebih baik bertindak daripada berbicara. Sebenarnya, keduanya penting. Kebanyakan dari kita tinggal dalam dunia yang maju, di tengah masyarakat yang mungkin post-Kristen. Banyak orang yang lupa akan arti mengikut Kristus. Menurut mereka, menjadi orang Kristen bukanlah menjadi sesuatu yang berbeda, sama saja. Orang lain membutuhkan penjelasan mengapa kita melakukan hal tertentu, dan kita harus menjelaskannya kepada mereka.

Penulis Perjanjian Baru dengan konsisten mengatakan kepada kita bahwa kemuliaan sifat, karakter, kekuasaan, dan tujuan Allah terlihat dalam diri Yesus. Seperti yang dikatakan penulis kitab Ibrani, misalnya, "Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan" (Ibr. 1:3). Yohanes menulis sabda Allah melalui Alkitab dengan kuasa Roh Kudus. Yesus ada dalam diri kita melalui Roh Kudus -- dan saat ini kita memang menjadi bagian dari sabda-Nya. Dalam segala hal, pekerjaan "memuliakan" tetap diteruskan melalui kita. Tapi bagaimana kita tahu bahwa kita memuliakan Tuhan? Mungkin kita tidak akan pernah menyadarinya. Memang ada alat untuk mengetahui tingkat kolesterol, tekanan darah, atau keadaan jantung kita, namun tidak ada yang namanya "alat pengukur kemuliaan". Namun, kita diyakinkan bahwa Tuhan senang karena kita menaati panggilan-Nya, dan ketaatan itu akan dengan sendirinya membawa kemuliaan bagi nama-Nya. Tugas kita adalah mengatur pekerjaan kita, dan Tuhan yang akan menilai hasilnya.

Namun begitu, ada aspek lain yang juga penting dalam memuliakan Tuhan. Dalam Alkitab, pekerjaan dan penyembahan sangat berkaitan. Bahkan, kata "bekerja" dalam bahasa Ibrani terkadang diartikan sebagai 'penyembahan'. Mark Greene mengaitkannya setelah mengamati bahwa "bekerja adalah kata yang dibentuk oleh tujuh huruf"[1]. Ketika seorang Kristen bekerja, dia juga sedang menyembah. Apakah Anda merasa sudah melakukannya setiap hari? Cara kerja dan cara menyikapi pekerjaan yang buruk akan mengarah kepada penyembahan yang berkualitas buruk pula -- atau tidak menyembah sama sekali. Jika itu terjadi, kemuliaan Allah sedang dirampok sebanyak dua laki lipat -- karena kita tidak mendorong orang lain untuk memuliakan-Nya karena kita sendiri pun tidak memuliakan-Nya.

Doa Daud, ketika dia mempersiapkan Bait Allah yang kelak akan dibangun oleh anaknya, Salomo, menyiratkan pola penyembahan dalam Alkitab: "Ya TUHAN, punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala" (1Taw. 29:11).

Yesus mengambil inti dari doa itu yang kemudian Dia ajarkan kepada murid-murid-Nya (Mat.6:9-13). Seperti yang dikatakan William Barclay, "Saya tidak bisa mengatakan amin (untuk doa itu) kecuali saya bisa mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Karena bagaimanapun juga itu adalah doa saya." Sungguh-sungguh suatu tantangan yang besar untuk memuliakan Tuhan dalam hidup dan pekerjaan kita [2].

Aksi:
Kita telah membahas empat cara agar pekerjaan kita bisa memuliakan Tuhan. Periksa dan nilailah pekerjaan Anda sekarang berdasar empat prinsip ini. Berdoalah agar Anda mampu bersikap jujur dan objektif. Kita semua perlu belajar banyak dan mencoba menerapkannya dengan lebih baik. Bagaimana Anda menjawab pertanyaan, "Apa pentingnya pekerjaanku bagi Tuhan?"

Apakah Tuhan tercermin dalam sikap kerjaku?

Sikap kerja kita berperan penting dalam menentukan peran unik kita nantinya. Ketika Anda mengerjakan beberapa aksi di atas, Anda mungkin merasakan kepedihan akan sikap Anda yang sekarang. Saya sendiri merasakan seperti itu. Mari kita bahas hal ini lebih dalam dengan melihat "semangat zaman" ini. Bagaimana dan di mana semangat zaman ini bisa memengaruhi kerja kita yang begitu dipedulikan Tuhan? Saya mencari profil seseorang atau perusahaan untuk mengetahui sikap yang umum dilakukan dalam bekerja. Saya tidak butuh waktu lama untuk menemukan apa yang saya cari -- profil-profil seperti itu banyak terdapat dalam media massa dan pelatihan yang ada di seluruh dunia. Mereka inilah yang membentuk opini yang memengaruhi kita dalam menetapkan konteks mengenai bagaimana orang Kristen harus bekerja. Inilah sepuluh pandangan mereka tentang diri mereka sendiri atau orang lain yang mereka kagumi.

1. Ia selalu memiliki sikap bersaing tanpa pikir panjang.
2. Orang ini selalu ingin menjadi penguasa setiap saat.
3. Ia penuh dengan ambisi.
4. Agar berhasil, semua orang harus dipandang sebagai musuh.
5. Pekerjaan adalah mesin promosi untuk diri sendiri.
6. Dalam segala hal, moralitas tidak penting -- yang penting adalah hasil akhir.
7. Rahasia sukses adalah pertama-tama menemukan cara bagaimana menghasilkan uang dengan cepat.
8. Budaya kerja 24-7 sangat cocok; berkeluarga tidak penting.
9. Selalu penuh dengan adrenalin, selalu melakukan sesuatu dengan semaksimal mungkin.10. Seorang pembentuk tim dikenal karena pendelegasian atau kepercayaannya -- tapi tidak keduanya.

Anda akan melihat betapa tegas dan kerasnya pernyataan-pernyataan di atas. Ada beberapa pernyataan yang sangat ekstrem, dan kebanyakan terkesan negatif. Ambisi dan persaingan memang dibutuhkan agar kinerja seseorang baik -- pada tingkat tertentu, hal itu akan membawa kemuliaan bagi Tuhan. Tapi bagian-bagian lain, seperti meniadakan moral atau tidak ingin berkeluarga, tidak bisa disebut sebagai prinsip orang Kristen. Anda mungkin mengenal banyak orang seperti itu atau jangan-jangan Anda sendiri memiliki pemikiran seperti itu, tergantung dari jenis pekerjaan yang Anda lakukan. Mungkin Anda baru saja memulai karir dan mengabaikan hal ini, atau mungkin Anda berada di pertengahan karier dan semua ini terdengar seperti "memang seperti itulah bisnis". Bukan hanya "pemimpin dunia industri" yang menggunakan pernyataan-pernyataan seperti itu. Saya sudah bertemu dengan orang-orang seperti ini dalam jalan kehidupan yang sangat berbeda. Banyak dari mereka yang mengganggap bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah suatu kehormatan. Meskipun ada yang melecehkan sikap-sikap seperti itu, tapi pada kenyataannya banyak yang memercayai dan melakukannya. Dan sebagian dari mereka adalah orang-orang Kristen.

Kini kita tahu bahwa pekerjaan kita berarti untuk Tuhan -- setidaknya itulah yang diharapkan Tuhan. Namun, berarti atau tidaknya pekerjaaan kita tergantung dari sikap dan perilaku kita. Cermati lagi kesepuluh perilaku di atas. Pikirkanlah kesepuluh hal itu sebagai tempat kita bercermin, yang mana yang ada pada diri Anda dan lingkungan kerja Anda.

Tanggapan:
Apakah Anda mengekpresikan salah satu dari karakteristik ekstrem di atas ketika Anda bekerja? Jika ya, pikirkanlah bagaimana sikap itu mempengaruhi peran pekerjaan yang Tuhan inginkan. Jika Anda cukup berani, mintalah pendapat dari rekan kerja untuk melihat bagaimana mereka menanggapi Anda. Apa yang akan Anda lakukan untuk mengubah sikap yang tidak ilahi ini? Jika Anda memiliki karakteristik-karakteristik seperti itu, berdoalah agar Anda dilepaskan dari pencemarannya.

Sikap dalam pekerjaan yang Tuhan inginkan

Sang Pencipta tahu semua kelemahan dan kelebihan kita -- dan diberikan-Nyalah Alkitab sebagai penuntun hidup kita. Karena etika Kristen tidak dikembangkan dalam gereja atau untuk gereja, John Stotts kemudian meneliti, "... konteks Perjanjian Baru bagi kehidupan Kristen adalah ramai, sibuk, dan menantang di tempat kerja dan lingkungan bisnis." [3] Apa yang kita lakukan di sini adalah mengaitkan apa yang telah lama terpisahkan. Kita bisa dengan yakin mengatakan Tuhan tidak bermaksud untuk memisahkan pekerjaan dan kehidupan dari iman. Dan untuk itu, Alkitab memiliki banyak pandangan yang sangat membantu untuk mengetahui sikap yang diperlukan untuk dapat bersaksi tentang Tuhan melalui pekerjaan kita. Segera, kita akan membahas ketiga sikap itu.

Bait Allah
Dalam 1Korintus 3:16, Paulus mengemukakan pertanyaan, "Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?" (1Kor 3:16). Maksudnya adalah bahwa bait Allah itu sangat suci dan "Anda adalah bait itu. Ini adalah metafora yang sangat luar biasa dan memandang manusia dengan sangat tinggi. Bagi sebagian dari kita, pandangan ini mungkin terlalu tinggi. Apa yang dikatakan dalam ayat itu, mungkin sulit untuk kita penuhi -- terutama dalam lingkungan kerja. Meski begitu, nilai yang dimiliki orang Kristen di dunia ini terletak pada hubungan istimewa mereka dengan Tuhan. Itulah pekerjaan yang dimaksudkan Alkitab. Untuk itulah Kristus mati. Lebih jauh lagi, kita perlu bertanya pada diri sendiri mengenai kegiatan yang dilakukan dalam bait ini, di tempat yang sebenarnya adalah milik Tuhan. Siapa lagi yang tinggal di dalamnya? Apakah bait kita hanyalah sekadar bangunan sejarah atau tempat untuk menyembah dan bersaksi? Lebih dalam lagi, ini berarti bahwa Anda membawa serta Roh Kudus saat Anda bersikap tanpa kasih, mencaci maki orang lain atau bawahan Anda. Roh Kudus ada ketika Anda berbohong kepada seorang pelanggan tentang permasalahan produk yang Anda miliki. Roh Kudus melihat Anda sedang berbohong saat mengajukan klaim. Roh Kudus di sana, menunggu, ketika sebenarnya Anda memiliki kesempatan untuk bersaksi, namun tidak pernah menyatukan iman dan pekerjaan sebagai sebuah prinsip. Jika hal itu membuat Anda menangis, menangislah. Kadangkala, inilah fakta menyedihkan kehidupan seorang Kristen di tempat kerjanya. Masalahnya bukanlah bagaimana saya dapat hidup seperti Kristus, melainkan bagaimana saya mengizinkan Kristus hidup di dalam saya. Tubuh saya adalah rumah -- apakah Roh Kudus sudah tinggal di dalamnya?

Partner Allah
Bersekutu dan berbagi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan Kristen. Prinsip bersekutu mengakar dalam bidang bisnis dan komersial. Namun, hal ini sangat relevan dengan pembahasan kita. Tidak akan ada persekutuan jika kedua belah pihak tidak memiliki tujuan yang sama; harus ada alasan kuat untuk terlibat dalam hubungan tersebut, dan alasan itu harus mampu bertahan dalam keadaan baik ataupun buruk. Persekutuan jarang dapat bertahan lama jika salah satu pihak "tidur", atau bersikap pasif. Apakah Anda pernah "bersekutu dengan Kristus"? Apakah Anda pernah berpikir untuk melakukan (atau tak melakukan) pekerjaan Tuhan? Tanpa terkecuali, semua orang Kristen disebut sebagai rekan dalam anugerah Tuhan. Paulus mendapat gagasan ini saat ia bersyukur pada Tuhan karena "persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini. Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus (Fil. 1:5-6)." Sungguh melegakan karena Alkitab ternyata mengerti kebutuhan kita yang selalu membutuhkan bantuan untuk menjalankan peran kita. Selain kekuatan, persekutuan juga memerlukan semangat yang benar. Hal itu tidak bisa dijalankan bila saya merasa terpaksa membawa masuk Tuhan dalam kerja saya. Anda bisa beranggapan bahwa Tuhan memunyai suatu pekerjaan untuk Anda lakukan bersama-sama di tempat kerja Anda; namun terkadang Anda tidak selalu menjadi rekan yang mau bekerja dengan-Nya.

Murid-murid Allah
Karakter orang Kristen sesungguhnya adalah sebagai murid. Ini merupakan tujuan hidup -- berdasar sikap rendah hati yang rindu untuk mengenal dengan lebih dalam tentang orang yang diikutinya. Bagi sebagian besar dari kita, kerja bisa menjadi lingkungan yang keras -- serta merupakan tempat di mana kita semua melakukan kesalahan. Aturan pertama untuk semua murid adalah mengakui bahwa orang lain mungkin benar dan dia bisa saja salah. Perkataan spontan, situasi yang tak terduga, rekan kerja yang tidak mau menolong adalah beberapa hal yang bisa menyebabkan perilaku kita tidak mencerminkan Kristus. Kita perlu ingat bahwa apa yang sedang kita pelajari adalah tentang kebesaran dan kemampuan Tuhan dalam mengatasi setiap tantangan-tantangan hidup kita. Orang lain perlu (beberapa orang ingin) untuk belajar dari kita. Banyak orang tidak membaca Alkitab. Dalam kehidupan kerja kita, kita tidak selalu mendengarnya dalam perkataan yang ditujukan untuk Filipus, "Tuan, kami ingin bertemu dengan Yesus" (Yoh. 12:21). Para pencari kebenaran dari Yunani ini menggambarkan kehausan akan Tuhan yang tidak selalu dimiliki sesama kita. "Permintaan" itu terkadang tidak diekspresikan; situasi kantor biasa-biasa saja, terkadang muncul pertanyaan yang sinis dan mencemooh, ada juga kata-kata celaan. Namun pada kenyataannya, orang-orang memang mencari fakta dari pembelajaran dan kepengikutan kita akan Tuhan. Apa yang mereka lihat? Jika mereka mencatat di buku harian, apakah yang akan mereka tulis tentang "kehidupan seorang Kristen"?

Tantangan
Bahasan dalam artikel ini meliputi beberapa materi yang agak pribadi mengenai keinginan Tuhan, sikap kita, dan pekerjaan kita. Luangkanlah beberapa menit untuk merenungkan hal-hal berikut.

1. Tentukan apa yang menurut Anda istimewa bagi Tuhan mengenai peran Anda dalam pekerjaan Anda saat ini. Sangat penting untuk menentukan sikap itu sekarang karena sikap inilah yang akan mempengaruhi hidup Anda selanjutnya.

2. Selama beberapa tahun terakhir ini, apakah pekerjaan Anda lebih memberi pengaruh kepada diri Anda daripada Tuhan? Atau apakah Anda merasa bahwa Tuhan ikut bekerja sehingga Anda mampu mengatasi beragam sikap yang ada dalam lingkungan kerja Anda?

3. Bagaimana Anda mengaitkan pekerjaan Anda yang sekarang ini sebagai "penyembahan"? Bandingkan dengan bagaimana Anda mempersiapkan dan keterlibatan Anda dalam penyembahan, dampaknya terhadap Anda, sikap Anda saat menyembah, seberapa fokus Anda, dsb..

4. Bagaimana Anda bisa lebih memuliakan Tuhan melalui pekerjaan Anda? Atau apakah yang harus Anda mulai ubah agar Anda dapat lebih memuliakan-Nya?

5. Saat Anda merenungkan tentang bait Allah, persekutuan, dan pemuridan, pikirkanlah mana yang paling relevan untuk Anda kaitkan dengan pekerjaan Anda?

6. Satu kesimpulan yang bisa diambil oleh seorang Kristen dari bahasan di atas adalah: "Saya bekerja untuk Tuhan". Bisakah Anda mengatakan kalimat itu? (t/Lanny dan Dian)

Tambahan Catatan Kaki
[1] Mark Greene, 'Thank God It's Monday; Ministry in the Workplace (London: Scripture Union, 1994), hal. 36.
[2] William Barclay, The Plain Man Looks at the Lord's Prayer (London: Collins, 1964.[3] John Stott, The Incomparable Christ (Leicester: IVP, 2001), hal 96-97. =====================================================================
Diterjemahkan dari:
Judul buku : God's Payroll: Whose Work is It anyway?
Judul bab : The Importance of Your Work in God's Eyes.
Penulis : Neil HoodPenerbit : Bell and Bain Ltd, Glasgow 2003Halaman : 17 -- 26

6 TIPS BAGI KEPEMIMPINAN MELAYANI YANG EFEKTIF

6 TIPS BAGI KEPEMIMPINAN MELAYANI YANG EFEKTIF

1.Belajarlah bagaimana melontarkan pertanyaan dan gagasan untuk memberi masukan tim. Pertanyaan-pertanyaan seperti "Bagaimana pendapat kalian tentang hal ini?", "Apakah ada yang punya pendapat mengenai topik ini?", "Bagaimana kamu melihat proposal ini?" harus anda biasakan daripada secara sukarela menjawab semua hal sendiri.
2.Mencari kesepakatan. Kesepakatan tidak berarti semua pihak menyetujui 100% apa yang telah diputuskan, tapi kesepakatan adalah saat dimana seluruh tim mampu menerima dan mendukung keputusan yang telah diambil. Pemimpin yang melayani (Fasilitator) dapat membantu untuk membuat diskusi untuk mencapai kesepakatan dengan:
memastikan kriteria evaluasi telah terbentuk dan berjalan memberikan waktu dan kesempatan yang memadai bagi tiap orang untuk berpartisipasi anggota tim tidak terburu-buru menyerah demi menghindari konflik-konflik dapat diselesaikan dengan produktif
3.Fasilitator perlu mendorong partisipasi kelompok, khususnya di tahap-tahap awal pembentukan, jika perlu juga merancang topik yang akan didiskusikan sehingga semua mendapat bagian.
4.Fasilitator yang efektif menjalankan pertemuan-pertemuan yang efektif, yaitu pertemuan yang memiliki agenda dan waktu yang jelas, langkah-langkah dan kegiatan dicatat serta dibagikan, namun tetap memiliki cukup waktu bagi diskusi yang produktif.
5.Fasilitator perlu memonitor dan memproses tim, mengamati dimana saja potensi konflik dapat muncul, memberi dukungan yang lebih besar pada masa-masa penuh tekanan, mendorong anggota baru untuk bergabung dalam tim.
6.Terakhir, seorang fasilitator tidak takut menangani konflik dan mengatur hal-hal dalam tim secara produktif. Rintangan-rintangan bagi kesuksesan kelompok, baik hal-hal dari luar menyangkut pekerjaan yang harus segera diselesaikan atau anggota kelompok yang sulit harus diatasi supaya tim dapat tetap melangkah ke depan dan menyelesaikan apa yang mereka kerjakan.

GAYA KOMUNIKASI

Ada orang-orang tertentu yang seolah-olah dilahirkan untuk menjadi orang yang sukses dalam pergaulan. Dengan mudahnya mereka dapat menjalin persahabatan setiap bertemu dengan teman yang baru. Bukan itu saja, persahabatan mereka pun biasanya bertahan sampai kekal. Sebaliknya, ada pula orang-orang yang justru mengalami kesukaran dalam pergaulan. Tema "disalah mengerti" merupakan tema pokok hidup mereka meski mereka tak henti-hentinya berusaha mengoreksi diri. Banyak faktor yang terlibat yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan kita dalam pergaulan, salah satunya adalah gaya kita berkomunikasi.
Tanpa kita sadari, sebenarnya gaya komunikasi itu sendiri adalah bagian dari isi berita yang kita komunikasikan. Pada umumnya orang yang sukses dalam pergaulan bukan saja memahami dampak gaya komunikasinya pada orang lain, ia pun telah berhasil mengubahnya menjadi gaya komunikasi yang luwes dan menyenangkan. Gaya komunikasinya bukan saja tidak mengganggu isi berita yang ingin ia sampaikan, malah gayanya yang luwes itu menambah kekuatan atau bahkan adakalanya melengkapi kekurangan isi berita yang ingin ia kemukakan. Di bawah ini saya mencoba menjabarkan TUJUH GAYA KOMUNIKASI YANG TIDAK SEHAT. Mudah-mudahan dapat menolong kita memperbaiki keterampilan yang sangat penting ini.
Gaya 1: Si Penganggap
Ungkapan yang biasanya terlontar dari dirinya adalah, "Saudara seharusnya sudah mengerti maksud saya." Si Penganggap umumnya melakukan satu kesalahan yang cukup serius dalam komunikasi, yakni menganggap orang lain pasti memahami isi hatinya. Sebelum kita menganggap orang lain sudah menangkap maksud kita, kita perlu mengecek ulang, apakah benar ia sudah memahami pembicaraan kita. Gaya komunikasi seperti ini acap kali membuahkan kekecewaan dan bahkan kemarahan.
Gaya 2: Si Sepenggal
Orang ini berpikir, "Bukankah sudah saya katakan semuanya itu?!" namun sesungguhnya yang terjadi adalah ia memang belum mengemukakan seluruh pikirannya -- baru sepenggal saja. Sewaktu kita berbicara, kecepatan pikiran kita bergerak dari satu topik ke topik yang lainnya tidaklah sama dengan kecepatan lidah kita mengungkapkan isi pikiran itu sendiri. Bagi Si Sepenggal, pikirannya bergerak telalu cepat atau lidahnya terlalu lamban sehingga maksud hatinya tidak tertuang sepenuhnya melalui bahasa ucapan. Masalahnya ialah, ia tidak menyadari hal ini, sehingga dalam benaknya, ia sudah mengatakan semua yang ingin ia sampaikan. Si Sepenggal rentan terhadap frustasi karena komunikasinya menjadi terpotong-potong dan sudah tentu, membuka pintu terhadap kesalahpahaman.
Gaya 3: Si Peremeh
Ucapan Si Peremeh pada umumnya ditandai dengan kalimat sejenis ini, "Kenapa tidak mengerti-mengerti?" atau "Memang bodoh kamu!" Si Peremeh memiliki satu masalah yang lumayan serius yakni ia memperlakukan semua orang sama seperti dirinya. Alhasil, apabila orang lain tidak bisa mengikuti kemauan atau pikirannya, ia pun marah. Sewaktu marah, bukannya ia melihat bahwa memang orang lain berbeda dengannya, ia justru memandang perbedaan sebagai kekurangan di pihak orang lain. Gaya komunikasi ini cenderung merusakkan hubungan dengan orang lain. Siapa saja yang pernah disakitinya akan menjaga jarak karena tidak mau terluka lagi.
Gaya 4: Si Penyenang
Si Penyenang mempunyai satu misi dalam hidupnya, yakni menyenangkan hati semua orang. Akibatnya, tema seperti ini sering keluar dari bibirnya, "Saya akan lakukan apa saja bagimu asal kamu bahagia." Bicara dengan Si Penyenang memang bisa menyenangkan karena ia akan mengangguk-angguk saja, namun biasanya gaya komunikasi ini dapat mendangkalkan relasi pribadi. Sukar sekali untuk mengetahui hati Si Penyenang karena ia tidak terbuka. Ketidakterbukaannya itu juga cenderung membuatnya menumpuk semua perasaan dalam hati. Kalau tidak tertahankan, ia mudah menjadi orang tertekan dan tidak bahagia.
Gaya 5: Si Pelupa
Kita bisa lupa dan adakalanya sengaja melupakan peristiwa tertentu. Malangnya, Si Pelupa lupa dan melupakan terlalu banyak hal dan frekuensinya terlalu sering. Ia acap kali berujar, "Tidak, saya tidak mengatakan hal itu." Namun kenyataannya ialah ia mengatakan hal tersebut. Baik lupa atau melupakan informasi yang akhirnya dibutuhkan oleh orang lain cenderung melemahkan kepercayaan orang pada dirinya sendiri. Orang lain dapat membentuk anggapan bahwa Si Pelupa meremehkan atau bisa juga, orang lain menilai bahwa Si Pelupa tidak tulus. Ini bahaya! Komunikasi sangat bergantung pada kepercayaan; tanpa itu, yang mendengar adalah suara belaka.
Gaya 6: Si Pendebat
Repot juga berkomunikasi dengan Si Pendebat karena pembicaraan dengannya cenderung menjadi arena balapan kebenaran. Perhatikan kata- kata yang biasanya keluar dari mulutnya, "Apa benar saya berkata demikian? Apa kamu yakin? Bagaimana dengan dirimu sendiri?" Si Pendebat kaya dengan kata-kata dan gaya berkomunikasinya mirip dengan taktik menyerbu orang lain dengan bombardemen kata-kata. Si Pendebat cenderung melemparkan fokus masalah ke pihak lawannya sehingga ia bebas dari kesulitan. Gaya komunikasi ini bisa menimbulkan rasa tidak suka dan jenuh pada orang lain karena bicara dengannya membuat diri merasa diserang. Lebih jauh lagi, Si Pendebat akhirnya membuat orang beranggapan bahwa ia senantiasa mengelak dari tanggung jawabnya.
Gaya 7: Si Talenan
Rasa iba, kasihan, simpati adalah beberapa kata yang sering diasosiasikan dengan Si Talenan karena perasaan-perasaan seperti itulah yang timbul tatkala melihatnya. Si Talenan selalu menyediakan dirinya menjadi sasaran tudingan orang lain tanpa benar-benar menyadari di mana letak kesalahannya (kalau memang ada). Ucapan seperti ini cenderung muncul dari bibirnya, "Betul, memang saya yang salah dan sudah sepantasnya dimarahi." Masalahnya ialah, ia melakukan itu karena tidak berani atau berkekuatan memperhadapkan orang lain dengan kebenaran. Ia tidak suka keributan dan baginya silang pendapat tidaklah bijaksana, jadi, harus dihindarkan. Gaya komunikasi ini sangat merugikan dirinya dan bisa mengundang penghinaan dari orang lain. Orang lain semakin berani berbuat sekehendak hatinya tanpa mempedulikan perasaannya. Namun, bukankah ia jugalah yang memulainya?
Dari penjelasan di atas kita melihat bahwa gaya komunikasi dapat memancarkan kepribadian kita yang sesungguhnya, namun bisa pula merupakan gaya yang dipelajari. Adakalanya untuk mendapatkan penerimaan dari orang lain, kita terpaksa mengikuti gaya komunikasi yang tertentu. Atau kita belajar dari keluarga kita sendiri sehingga kita menganggap gaya komunikasi kita dipahami semua orang, alias universal. Jika gaya komunikasi kita memang merupakan buah kepribadian sendiri, sudah tentu perlu koreksi. Obat penawarnya ada beberapa, misalnya meminta tanggapan orang lain. Mungkin kita dapat memeriksa ucapan-ucapan kita dengan lebih teliti dan menanyakan, apa kira-kira yang orang lain rasakan (bukan kita, sebab kalau kita, mungkin sekali kita tak merasa apa-apa karena sudah terbiasa) tatkala mendengar kata-kata kita. Kita rela membayar mahal dan menanamkan waktu yang panjang untuk pendidikan kita; ironisnya, kita sering tidak bersedia membayar mahal untuk belajar menyehatkan gaya komunikasi kita. Memang, adakalanya hal yang penting tampaknya sederhana

Saya Pemimpin? Apa Iya Sih?

Penulis : Eka Darmaputera

Bila untuk memenuhi kriteria sebagai pemimpin, seseorang harus kapabel sekaligus fleksibel; pemberani sekaligus hati-hati; tegas sekaligus bijak; berpandangan jauh ke depan sekaligus teguh berpijak di kekinian; dan "sekaligus-sekaligus" yang lainnya lagi; maka, wah, di mana kita dapat menemukan manusia sesempurna itu?
Wajar, bukan, bila kemudian orang berkesimpulan, bahwa pemimpin itu tergolong "makhluk langka"? Cuma bisa dilahirkan, tak mungkin dibentuk. Kemunculannya hanya bisa ditunggu, tak mungkin direncanakan atau diusahakan. Anda ingat bagaimana orang Tibet "mencari" bayi titisan, bakal pengganti Dalai Lama mereka?
Memang tak dapat disangkal, kepemimpinan yang baik tentu saja menuntut persyaratan istimewa. Pemimpin bukan "orang biasa". Lebih sekadar "biasa-biasa". Namun perkenankanlah saya mengingatkan, bahwa terlampau melebih-lebihkannya pun, saya harap jangan Anda lakukan. Sebab akibatnya, bisa panjang dan serius.
APA misalnya? Misalnya orang lalu jadi terlampau cepat menerima begitu saja ketika dipimpin oleh "pemimpin-pemimpin gadungan". Terlalu cepat memaafkan para "pejabat" yang sebenarnya tak lebih dari "penjahat".
Alasan mereka: sebab pemimpin yang memenuhi syarat itu, amat sulit didapat. Jadi, apa boleh buat, tiada rotan akar pun berguna.
Tak mengherankanlah, bila di tengah krisis kepemimpinan yang parah di tanah-air kita sekarang ini, orang tidak merasakan urgensi untuk mempersiapkan kader-kader atau calon-calon pemimpin secara serius dan terencana.
Banyak yang malah memilih untuk pasif menunggu munculnya seorang "satrio piningit" yang entah kapan tibanya. Disebut "piningit", karena sekarang ia masih dalam keadaan "dipingit" atau "disembunyikan", menunggu saat yang ditentukan para dewa untuk tampil.
Jadi kalau sekarang kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin "busuk", ya maklumlah. Boleh saja Anda tidak suka ini pun wajar-wajar saja --, tapi "ojo nggege mongso". Jangan memaksakan keadaan! Jangan memaksakan sesuatu sebelum waktunya! Nrimo saja, ini yang paling bijaksana!
Sikap apatis, fatalis, dan pasif seperti ini amat berbahaya. Sebab secara tak langsung ia membiarkan pemimpin-pemimpin "busuk" bebas merajalela ke mana-mana dengan leluasa.
Dan bila ketidakpuasan cuma bisa ditekan, kita mesti lebih khawatir lagi. Sebab sampai kapan ia bisa bertahan, sebelum meledak?
PAHAMLAH kita sekarang, mengapa begitu amburadulnya keadaan kita. Sebab sang satrio piningit, kepada siapa semua harapan bertumpu, siapa dia sebenarnya tak ada orang tahu. Bahkan orang tak pernah pasti, benar-benarkah ia akan muncul? Dan andaikata pun ia muncul juga, bagaimana orang tahu, bahwa ia-lah dia?
Demikianlah sementara orang sibuk berandai-andai, para "tikus" dan para "kecoa" pemimpin-pemimpin gadungan itu berkembang biak dengan cepatnya. Seraya dengan giatnya menggerogoti bangunan rumah kita, yang bernama Indonesia.
Tapi bukan cuma dugaan yang berbau mistis seperti di atas saja, yang beranggapan bahwa pemimpin sejati itu "antik" dan "langka". Seorang pakar kepemimpinan yang amat terkenal nota bene, seorang penulis yang rasional, intelektual, dan juga religius, juga punya kesimpulan yang sama.
Dengan perspektif yang pasti berbeda, ia tiba pada kesimpulan, bahwa, "Sangat sedikitlah orang yang diahirkan atau ditakdirkan sebagai pemimpin. Jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan. Namun sebaliknya, semua orang
tanpa kecuali -- dilahirkan dan dipanggil untuk menjadi pelayan".
Inti yang ingin ia sampaikan adalah, bahwa bila "kepemimpinan" itu hanya ditakdirkan hanya bagi sangat sedikit "orang pilihan"; "kepelayanan" sebaliknya. Kepelayanan ditakdirkan untuk semua orang. Dan "takdir" ini terus melekat, tak pernah tanggal dari bahu manusia.
Ya sekali pun, katakanlah, yang bersangkutan kini sudah menjadi seorang pemimpin. Si pemimpin ini toh tetap seorang pelayan.
Seorang hamba. Ia harus menjalankan kepemimpinannya itu sebagai seorang pelayan. Itu sebabnya, ia menamakan teorinya itu "Kepemimpinan yang Menghamba". Servant leadership.
PANDANGAN seperti itu tentu banyak benarnya. Tak kurang dari Yesus sendiri yang pasti akan mendukungnya. "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu," begitu Yesus pernah berkata, "hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya" (Markus 10:43- 44)
Seorang "pemimpin" yang baik harus mau menjadi "pengikut" yang baik. Tidak hanya pintar bekoar, tapi juga mesti peka mendengar.
Tidak sekadar mahir dan gemar mendamprat, tapi harus pula bersedia taat dan hormat. Dengan itulah ia memperlihatkan kualitas karakter dan kepribadiannya. Seorang "pemimpin" yang bajik harus terlebih dahulu lulus sebagai "hamba" yang baik.
Sebab dengan merendahkan diri itulah, yang bersangkutan membuktikan kesungguhan dan ketangguhannya dalam menundukkan diri sendiri. Dan ini, saudaraku, betapa krusialnya! Sebab bayangkanlah, apa yang bisa lebih mengerikan dan lebih destruktif dari pada seorang pemimpin, yang tak mampu mengendalikan dirinya, mengekang nafsunya, dan mengontrol ambisinya?
Jadi, sekali lagi, apa yang dikatakan oleh pakar itu penting dan benar. Hanya saja, menurut penilaian saya, ada sisi lain dari amanat alkitab yang entah mengapa -- tidak ia sebut-sebut.
Sisi yang mana itu? Yaitu bahwa, alkitab juga mengatakan, orang itu tidak cuma ditakdirkan sebagai "pelayan", tetapi juga sebagai "pemimpin"! Setiap orang. Anda. Saya. Dia. Mereka. Semua.
BENARKAH yang saya katakan itu? O, benar sekali! Kebenaran ini malah sudah berlaku sebelum dosa datang. Bahkan sebelum manusia diciptakan.
Ia merupakan bagian dari rancangan atau desain ciptaan Allah dari awalnya.
Setelah selesai menciptakan segala sesuatu, termasuk yang terakhir yaitu menciptakan segala jenis binatang darat, Allah bersabda lagi, "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut, dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi" (Kejadian 1:26)
Bagaikan nomor terakhir dalam pagelaran sebuah orkes simfoni, yang biasanya merupakan karya puncak, Allah hendak menutup seluruh karya penciptaan-Nya dengan menciptakan semacam "mahluk unggul"; -- "mahkota" seluruh ciptaan. "Manusia".
Dalam desain tersebut, "manusia" dijadikan "menurut gambar dan rupa Allah". Artinya, pada satu pihak, ia bukan Allah. Ia tetap mahluk. Ciptaan. Tak lebih dari mahluk-mahluk lain. Namun demikian, di lain pihak, ia lebih. Lebih, karena mahluk yang satu ini "manusia" adalah "citra Allah".
DALAM hal apa saja manusia merefleksikan Allah? Dalam banyak hal. Seluruh kedirian manusia -- kecuali dalam hal kefanaan dan keterbatasannya -- diciptakan untuk mencerminkan (bukan menyamai!) kedirian Allah.
Bila tidak dalam "hakikat" atau dalam "zat", ya paling sedikit ada kesejajaran dalam "sifat". Misalnya, dalam kehendak bebas dan kreativitas, dalam kecerahan akal-budi dan kesadaran hati nurani.
Dalam Kejadian 1:26 yang saya kutipkan di atas, ke"ilahi"an manusia secara khusus dinampakkan melalui "kekuasaan" yang dianugerahkan Allah kepadanya. Dengan perkataan lain, keilahian dalam diri manusia nampak melalui KEPEMIMPINANNYA!
Itu artinya, sejak awal mula penciptaan, manusia telah ditakdirkan sebagai "pemimpin". Semua yang menyandang sebutan sebagai "manusia"! Jadi, apakah saya juga "pemimpin"? Jawabnya adalah, "Ya". Paling sedikit, Anda ditentukan dan dipanggil Tuhan untuk menjadi "pemimpin"!
Kepemimpinan manusia itu, menurut Kejadian 1:26, adalah sekaligus merupakan hakikat, mandat, dan berkat Allah. Pertama, kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada "hakikat" manusia. Karenanya, hakikat kemanusiaan seseorang tercermin melalui kepemimpinannya. Kepemimpinan yang brengsek mencerminkan kualitas kemanusiaannya yang brengsek pula.
Kedua, kepemimpinan adalah "mandat". Artinya, kelayakan seseorang menjadi pemimpin, bukanlah terutama merupakan hasil kelihaian sebuah tim sukses, atau hasil kepandaian yang bersangkutan mengobral janji dan menebar uang gizi.
Kepemimpinan adalah penugasan Allah, karena itu mesti dilaksanakan sesuai dengan kehendak-Nya. Memimpin bukanlah beroleh lisensi untuk berbuat semau-maunya atau mengeruk untung sebanyak-banyaknya -- mumpung!
Dan akhirnya, ketiga, kepemimpinan adalah "berkat". Menjadi pemimpin adalah karunia ilahi yang sangat unik. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh mahluk-mahluk lain. Sebab itu luhur dan mulia.
Konsekuensinya, orang harus menjalankan kepempimpinannya dengan syukur, hormat dan khidmat. Jangan menodainya dengan tindakan- tindakan yang serampangan dan tidak ilahi! Sebab bila itu yang dilakukan, maka yang dihadapi tak kurang adalah Allah sendiri!